Postingan

Retisalya

Duduk asik menatik sepi Kala, serpihan hanyalah sampah belaka dipungutinya satu persatu dan terabaikan. Membayangkan,  sinar rembulan menemani setiap malam. Namun,  tetap saja benderang dalam dekapan kelam. Tak akan ada kata pulih, walau kembali gigih. Bagai air laut yang setia pada asin, walau diracuni manis ia tak akan menjadi teh manis. he-he. ia,  retisalya. -hpΔ-

#Chapter 3- Keheningan Logika

Pada masa yang ku sebut sesal Didepanku ada cermin, menatap mata yang sama Berkeliling mengetuk akal dan menimbulkan tanya. Mengapa? Sudah tahu buntu, tetap saja berjalan. Bersahabat dengan sebuah perandaian Dan waktu enggan memberi kesempatan Bagai daun gugur yang tak dapat kembali hijau Bagai nasi yang sudah menjadi bubur Mengapa ia tak bergerak saat itu? Membungkam, tak memberi cahaya? Membuntu pada sebuah jalan pikiran. Berakhir tak berkesempatan Bodohnya, melampaui manusia di bawah rata-rata. Anehnya, jera itu datang di akhir cerita. Dan terus berjalan walau buntu dalam pencapaiannya. -hp∆-

Retaklah sebuah mimpi

Disudut pilar itu aku meronta, pada sebuah impian, yang tidak di mengerti Nalarnya, hanya mampu mengukur seperempat semesta, yang nyatanya, 360 derajat bulat tanpa sudut. Nyata. Amarahku, berdosa. Diamku, sia-sia. Menjadi layu, gugurlah sudah. Terbawa angin karena diterpa. [hp∆]

#Chapter 2 - Temanku adalah diriku sendiri

Pada angin semilir menggilitik;tawa Hujan deras mengisak tertahan tumpah pada semesta;menangis Mengadu pada yang keras dengan lantang Ada yang dihadapkan pada kekosongan semesta Suanya tak dirasa, tercabik berkeping Tanyanya tak dijawab, Keluhnya dihina. Rintih manusia hanya sebagai cerita belaka yang nyatanya adalah titik dari sebuah rasa. Pada sebuah penjelasan yang sia-sia, timbul gemuruh teriakan jiwa. Yang nyatanya, hanya sebuah bayangan yang mampu mengulur tak berdusta. -hp∆-

#Chapter 1 - Tajam, tanpa Sudut

Diruang kecil yang sudah dimatikan lampu Pada yang tajam tanpa mengenal waktu Melekat, mengiring disetiap sunyi dan ramai Tak lekang, ada membelenggu Pada yang memutar memaksa damai --Tajam sendiri sepi sunyi mengisak tenggelam ramai gaduh menyeret senyap --Tajam tak kenal waktu, merasuk tanpa merupa menggetarkan jiwa yang gugup karena merindu menatap kosong, ruang-ruang yang kini usang berharap diisi oleh yang berdebu --Tajam duduk manis dengan segelas kopi yang dicampur vanilla, rasanya pas tidak terlalu manis ada yang larut didalamnya, tertahan mengendap tak rela dihabiskan rasanya, ingin menyaut berakhir damai namun tak tertukubur --Tajam manis mengikis bersua menyeret hampa utuh tertata rapi dalam ruang --Tajam diantara kopi dan campuran vanilla memaksa sejalan diantara logika dan rasa -hp∆-

Pagi

Pagi merayap sepi kosong menjelmakan hampa aku menanti pesan yang tak kunjung ada aku lupa, semua sudah binasa -- Pagi menepi, aku bosan dengan menanti kuputuskan kembali terlelap untuk bertemu di mimpi -hp∆-

Sebuah maaf untuk kekasih kala itu; Kau.

Kuucapkan maaf, untukmu kekasih. ----------------------------------- Kala itu, ----------------------------------- Seharusnya kau menjadi hebat, denganku. Tapi, tidak. Angin dan semilir panas di dada tak menjadikannya hebat Jalan itu dikendalikan, kemudian buntu Pada nyatanya, seorang perempuan seharusnya mampu menjadi kaki yang dapat menyusuri hutan, menjadi tangan dalam berombak di lautan. meluaskan pikiran layaknya samudera. dan aku tidak begitu, aku hanya mampu meresahkanmu pada ruang gelap berbentuk segiempat. Ya, aku gagal. senyumu tak mampu aku bentuk, sayapmu tak mampu aku terbangkan galaksi hidupmu berhenti dan menghitam. Segagal itu aku menjadi kekasihmu Kemudian, takdir menghapus ruang-ruang tentang aku digalaksimu, Lalu, kau lenyap dan aku sirna Biarlah hitam itu tetap menjadi hitam pada putaran galaksi, Biarlah buntu menjelmakan aku, satu kata tulus lahir dari hati, atas kegagalan menjadi kekasihmu, kala itu. Tertanda maaf, aku. kekasihm